Jumat, 28 November 2008

Indonesia Kekurangan Bibit Pelari Jarak Jauh

Jakarta, Kompas - Meskipun berpenduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia masih kekurangan bibit atletik untuk nomor-nomor lari jarak jauh, khususnya di bagian putri.

Belum terlihat munculnya generasi penerus untuk menggantikan pelari senior Supriati Sutono yang masih akan turun di nomor 5.000 meter Olimpiade Athena.

"Setelah sekian lama, baru Trianingsih yang saya perkirakan mampu menjadi pelari jarak jauh yang baik," ujar pelatih nasional atletik nomor lari jarak jauh, Nicky Pattiasina, di Jakarta, Kamis (12/8).

Trianingsih adalah pemegang rekor nasional yunior lari 5.000 meter dengan waktu 16 menit 49 detik. Rekor ini diciptakan Trianingsih pada Kejuaraan Nasional Atletik Yunior di Jakarta, Oktober 2003.

Pelajar SLTA yang bergabung di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Salatiga, Jawa Tengah, ini diutus oleh KONI Pusat menjadi duta Olimpiade Indonesia dalam Olympic Youth Camp di Athena. Selain Trianingsih, atlet muda yang dikirim adalah perenang Bobby Bangkit Guntoro.

Pattiasina mengatakan, sebelumnya Salatiga juga menelurkan dua pelari jarak jauh putri yang cukup menjanjikan, yaitu Hanny Melon dan Ruwiyati.

"Namun, keduanya lebih banyak berlari di nomor jalan raya, dan prestasinya semakin menurun," ujar Pattiasina.

Dengan menurunnya prestasi kedua atlet tersebut, Supriati masih belum tertandingi di nomor andalannya, 5.000 meter dan 10.000 meter.

Saat ini Supriati masih memegang rekor nasional nomor 5.000 meter dengan catatan waktu 15 menit 53 detik. Catatan waktu ini diciptakan saat meraih medali emas Asian Games Bangkok tahun 1998.

Menurut Pattiasina, jika menjalani program latihan dengan tekun, Trianingsih diharapkan bisa mendekati rekor yang dicapai Supriati.

"Catatan waktu yang diperoleh Trianingsih baru bisa dicapai Supriati ketika berusia sekitar 22 tahun. Sementara usia Trianingsih belum lagi 20 tahun," ujarnya.

Atlet alamiah

Pattiasina mengungkapkan, untuk mendapatkan atlet penerus Supriati, kalangan pelatih harus rajin mencari bibit-bibit baru di pelosok-pelosok.

"Pelatih harus aktif menjaring atlet muda di daerah, terutama di daerah-daerah yang wilayahnya memungkinkan munculnya atlet lari berbakat atau atlet alamiah," ujar Pattiasina, yang ikut memperkuat Indonesia saat Ganefo tahun 1962.

Pattiasina mengutarakan, atlet lari jarak jauh yang menjadi pesaing Supriati pada Olimpiade Athena 2004 terutama berasal dari Kenya dan China.

"Atlet dari Kenya memiliki performance yang sangat bagus di jarak jauh karena sejak kecil sudah terlatih berlari jauh. Otot, paru-paru, dan jantung mereka telah mengalami penyesuaian," kata Pattiasina.

Seusai latihan di Stadion Madya Senayan mempersiapkan diri mengikuti Olimpiade Athena, Supriati mengaku akan terus aktif di dunia lari hingga dirinya sudah tidak memungkinkan lagi berlari.

Meski demikian, ia sangat mengharapkan agar muncul atlet-atlet muda yang menjadi penerus dirinya.

Supriati sungguh menjadi atlet kebanggaan Indonesia. Pada SEA Games di Jakarta tahun 1997, ia meraih medali emas di nomor lari 1.500 meter, 5.000 meter, dan 10.000 meter.
Lari Jarak Jauh Membuat Tulang Rapuh

London, Sinar Harapan
Lari memang olah raga menyehatkan. Namun kalau mengikuti kemajuan penelitian medis terbaru, agaknya para pecinta olah raga lari jarak jauh seperti maraton harus berolahraga lebih keras atau menambah konsumsi gizinya jika tak mau menderita kerusakan tulang. Nasihat ini muncul berdasar hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa lari jarak jauh bisa menyebabkan kerusakan tulang.
Penelitian yang diadakan ilmuwan Inggris belum lama ini menyebutkan, pada banyak kasus para pelari jarak jauh mempunyai tulang yang lebih lemah dibanding tulang kebanyakan orang.
Riset ini, seperti diberitakan BBC News, sangat bertentangan dengan anggapan banyak ahli medis bahwa berlari bisa meningkatkan kekuatan tulang dan menghindari osteoporosis serta patah tulang.
Adalah tim ilmuwan dari University of East London yang telah melakukan riset pengukuran terhadap kepadatan tulang belakang dan pinggul pada 52 perempuan yang dalam satu minggu berlari sejauh lima hingga 70 kilometer. Semua partisipan yang berusia antara 18 dan 44 tahun itu sama-sama belum memasuki masa menoupase.
Para peneliti juga mendata jenis makanan apa saja yang mereka konsumsi selama satu minggu, yakni mencakup kandungan nutrisi dan mineral seperti seng, magnesium dan kalsium. Ketiga nutrisi ini sangat besar peranannya terhadap pertumbuhan kesehatan tulang. Mereka juga mendata faktor lain yang berpengaruh pada tulang, yaitu bobot tubuh, siklus menstruasi atau konsumsi hormon tambahan.
Hasilnya, perempuan yang lebih banyak berlari justru memiliki massa tulang lebih rendah dibanding mereka yang jarak tempuh larinya lebih kecil. Ada kira-kira sejumlah persentase kecil massa tulang yang berkurang dalam setiap jarak tempuh sepuluh kilometer.

Akibat Diet
Setelah diadakan analisis faktor gizi, diketahui tidak terjadi kesalahan konsumsi sejumlah nutrisi yang penting bagi tubuh. Namun dari sini didapati pula bahwa konsumsi magnesium yang tinggi dengan kadar seng lebih rendah mampu membuat massa tulang di sekitar paha lebih baik. Hal ini disebabkan magnesium cukup penting bagi aktivitas hormon tiroid. Sementara seng sendiri sebenarnya berguna bagi stimulasi sistem kekebalan tubuh ketika tulang sudah mulai rapuh di usia lanjut.
Menurut Dr.Melanie Burrows, pemimpin riset tersebut, para atlit yang melakukan banyak olah raga seperti cabang olah raga senam, angkat berat dan bola voli, di mana tubuh melakukan dorongan sebesar sepuluh kali lipat dari berat badan, mempunyai massa tulang lebih tinggi dibanding dengan yang melakukan dorongan hanya lima sampai sepuluh kali berat badan. Aktivitas terakhir itu termasuk di dalamnya lari jarak jauh.
Walaupun aktivitas lari melibatkan banyak gerakan kaki yang menahan berat badan di tanah ternyata besar dorongan yang ditimbulkan lebih kecil dan tidak mampu merangsang pertumbuhan tulang.
”Diperlukan lebih banyak aktivitas atau gerakan tubuh yang lebih keras lagi untuk menurunkan hubungan eksak antara lari jarak jauh dengan rendahnya masa mineral tulang,” ujar Burrows. Ia juga mengatakan, persoalan terletak pada para pelari jarak jauh yang sering melakukan kebiasaan diet ketat.
Para pelari maraton, misalnya, kerap melakukan diet demi menjaga penampilan. Mereka termakan oleh mitos yang mengatakan bahwa pelari seharusnya bertubuh ramping dan kurus. Lebih dari itu tubuh ramping identik dengan kelincahan dan mengurangi beban di waktu berlari. ”Padahal saat kita berlari, terlebih lari jarak jauh, kita mengeluarkan lebih banyak energi dibanding kebanyakan orang,” komentar Burrows.
Bukan berarti hasil riset ini membuat orang tidak boleh lagi melakukan aktivitas lari jarak jauh. Selama itu diimbangi dengan latihan dan konsumsi gizi yang tepat maka imbas kerapuhan massa tulang masih bisa diminimalkan. Demikian hasil penelitian yang secara rinci dipublikasikan dalam British Journal of Sports Medicine terbaru.(mer)